Minggu, 22 Januari 2012

BUNDA, KENAPA?

Beberapa hari lagi adalah hari besar Islam, yaitu Idul Adha atau Idul Qurban. Ibu Gina sudah beberapa hari ini lebih sering memperhatikan kambing-kambingnya terkadang putranya Reffi diajak untuk sekedar bermain-main sambil memberikan makanan berupa rumput hijau untuk kambing-kambing Ibu Gina.
            Reffi bocah 4 tahun yang masih duduk dibangku TK memiliki kambing kesayangan yang memang sering Ia ajak bermain. Hitam, adalah nama yang diberikan Reffi untuk kambing kesayangannya yang sudah Ia rawat semenjak si Hitam masih kecil dan belum lancar berjalan. Reffi sangat senang Ibunya sering mengajaknya bermain-main dengan si Hitam atau saudara-saudara si Hitam yang lainnya, padahal Reffi belum memahami mengapa Ibunya menjadi sering mengajak Reffi bersenang-senang seperti itu.
           
            Suatu hari, Reffi duduk menyandarkan punggungnya pada punggung sofa empuk diruang tv, rasa lelah karna baru pulang dari sekolah. Reffi mendengar Ibunya sedang berbicara dengan Ayahnya diruang tamu. Diam-diam Reffi menguping apa yang Ibu dan Ayahnya bicarakan.
            “Yah, sepertinya si Hitam dan dua kambing putih yang agak besar dari yang lainnya akan Bunda qurbankan pada hari Idul Qurban nanti” Kata Ibu Gina sambil merapihkan jilbabnya yang sedikit acak-acakan.
            “Bunda, si Hitam itu milik Reffi. Bunda harus meminta izin terlebih dahulu kepada Reffi, jika tidak Dia bisa ngamuk” Bapak Hendra, Ayahnya Reffi masih terlihat santai diakhir pekan yang bebas dari berkas-berkas kantor.
            “Maka dari itu jangan bilang-bilang sama Reffi, Ayah sih salah juga. Kenapa Reffi dikasih piaraan kambing begitu, kan semenjak kambing-kambing itu Kita beli bukan untuk dijadikan piaraan atau teman main Reffi” Ibu Gina mulai resah dengan keputusan suaminya itu.
            “Ah, Ayah sih terserah Bunda saja. Kalau mau anak Kita mengamuk sampai didengar tetangga-tetangga kan yang tidak enak Kita-Kita juga, Bunda. Menurut Ayah sih, beri penjelasan secara baik-baik pada Reffi, Insya Allah Reffi mengerti”
            “Baik, Yah”.

            Reffi berlari menuju kamarnya, pelan-pelan menutup pintu agar tidak terdengar kalau Ia menguping pembicaraan kedua orang tuanya.
            Reffi mulai cemberut, ada amarah yang tidak tertahankan didadanya. Memikirkan si Hitam yang akan di Qurbankan pada hari Idul Adha nanti. Banyak pertanyaan yang ingin Ia tanyakan pada kedua orang tuanya, dari mulai siapa yang akan menemani Reffi bermain jika tidak ada si Hitam? Sedangkan Ia anak tunggal, siapa yang akan menghabiskan rumput-rumput yang dikumpulkan Mang Ujang karna rumput-rumput halaman depan sudah gondrong?, siapa yang akan mengembik riuh ketika Reffi gembira atau sebaliknya? Siapa?.
            Tok.. tok.. tok
            “Nak, sudah siang. Makan yuk ! Bunda dan Ayah tunggu di ruang makan ya, jangan sampai telat” Seru Ibu Gina, dan hendak membalikan badan untuk kembali menuju ruang makan.
            “Gak mau, Reffi gak mau makan kalau si Hitam di qurbankan” Reffi berteriak, Ibu Gina kaget bukan kepalang lalu kembali membalikan badannya menghadap pintu kamar Reffi, mencoba membuka pintunya tetapi terkunci.
            “Nak, Reffi. Kita bicara baik-baik yuk, tapi makan dulu” Ibu Gina berbicara dengan sabarnya sebagaimana seorang Ibu membuat anaknya tenang.
            “Gak mau, Bunda jahat ! Ayah juga !”
            Bapak Hendra yang mendengar keributan disekitar kamar Reffi bergegas menuju asal suara. Dan memang benar ternyata istrinya sedang berusaha membuka pintu, mengetuk-ngetuk pintu kamar Reffi yang berteriak-teriak meminta Bundanya menjauh dari kamarnya.
            “Ada apa ini? Kenapa dengan Reffi?” Tanya Bapak Hendra.
            “Ayah, Reffi tidak mau makan, Dia ngambek” Ibu Gina sudah mulai berlinangan air mata.
            “Loh? Ngambek kenapa?”
            “sepertinya Dia menguping apa yang Kita bicarakan tentang si Hitam yang akan diqurbankan tadi siang, Yah”
            “Astagfiruwlloh, Bunda mundur kebelakang. Ayah akan coba dobrak pintunya”
            “Ia, hati-hati Yah !”
            Pintu kamar Reffi didobrak paksa oleh Bapak Hendra, terlihat Reffi yang duduk dipojok kasurnya sedang menangis sambil melipatkan kedua tangannya menutup mata. Keduanya duduk disamping kanan Reffi.
            “Nak, kenapa?” Ibu Gina yang duduk paling dekat dengan Reffi anaknya, mengelus-elus punggung putra kecil satu-satunya itu.
            “Jangan sentuh Reffi, Bunda” Reffi masih menangis dan tidak mau membuka matanya yang ditutup kedua telapak tangannya. “Bunda dan Ayah jahat, kenapa si Hitam yang di Qurbankan padahal banyak kambing-kambing milik Ayah dan Bunda yang bisa di Qurbankan”.
            Ibu Gina menatap mata Bapak Hendra, lalu mengangguk kecil.
            “Reffi mau mendengarkan cerita Bunda dan Ayah tidak? Ceritanya seru, tidak kalah dengan buku-buku cerita yang sering Reffi baca”
            Spontan Reffi membuka telapak tangannya, mengusap air matanya dan menatap Bundanya “Cerita apa, Bunda?”
            “Cerita tetang Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail”
            “waah, ceritakan Bunda !” Reffi terlihat sangat antusias.
            “Dahulu kala ada seorang Nabi bernama Nabi Ibrahim as, Beliau memiliki seorang anak yang bernama Nabi Ismail as setelah menikah dengan Siti Hajar atau Bundanya Nabi Ismail itu. Nah, pada suatu hari Nabi Ibrahim as bermimpi diperintah oleh Allah untuk menyembelih anaknya yaitu Nabi Ismail”
            Belum sempat melanjutkan ceritanya, Reffi menyela “Menyembelih itu apa, Bunda?”
            “Menyembelih sama seperti memotong binatang, tetapi binatang yang halal. Mengerti?”
            “Iya, ngerti Bunda. Lanjut !”
            “Lanjut yaa, setelah bermimpi seperti itu Nabi Ibrahim bersama Nabi Ismail dan istrinya Siti Hajar berkumpul seperti yang sering Reffi, Ayah dan Bunda lakukan diruang tengah. Siti Hajar bilang, “Barangkali mimpi itu hanya permainan tidur belaka, maka janganlah engkau melakukannya, akan tetapi apabila mimpi itu merupakan wahyu Tuhan yang harus di taati, maka saya berserah diri kepada-Nya yang sangat pengasih dan Penyayang terhadap hambanya.” Lalu Nabi Ismail bilang “Ayahku ! Apabila ini merupakan wahyu yang haru ditaati, maka saya rela untuk disembelih,” Ibu Gina terbatuk-batuk karna saking bersemangat menceritakan kisah tauladan ini kepada anaknya, “Kemudian beliau bersama putranya berangkat menuju ke suatu lembah di daerah Mina dengan membawa tali dan sebilah pedang. Pada saat itu, Iblis terkutuk sangat luar biasa sibuknya dan belum pernah sesibuk itu. Mondar-mandir ke sana ke mari. Ismail yang melihatnya segera mendekati ayahnya. Sesampainya di Mina, Nabi Ibrahim AS berterus terang kepada putranya, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?…” (QS. Ash-Shâffât, [37]: 102). “Ia (Ismail) menjawab, ‘Hai bapakku! Kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah! Kamu mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (QS. Ash-Shâffât, [37]: 102). Mendengar jawaban dari Nabi Ismail, legalah Nabi Ibrahim AS dan langsung ber-tahmid (mengucapkan Alhamdulillâh) sebanyak-banyaknya. Untuk melaksanakan tugas ayahnya itu Ismail berpesan kepada ayahnya, “Wahai ayahanda! Ikatlah tanganku agar aku tidak bergerak-gerak sehingga merepotkan. Telungkupkanlah wajahku agar tidak terlihat oleh ayah, sehingga tidak timbul rasa iba. Singsingkanlah lengan baju ayah agar tidak terkena percikan darah sedikitpun sehingga bisa mengurangi pahalaku, dan jika ibu melihatnya tentu akan turut berduka.”. “Tajamkanlah pedang dan goreskan segera dileherku ini agar lebih mudah dan cepat proses mautnya. Lalu bawalah pulang bajuku dan serahkan kepada agar ibu agar menjadi kenangan baginya, serta sampaikan pula salamku kepadanya dengan berkata, ‘Wahai ibu! Bersabarlah dalam melaksanakan perintah Allah.’ Terakhir, janganlah ayah mengajak anak-anak lain ke rumah ibu sehingga ibu sehingga semakin menambah belasungkawa padaku, dan ketika ayah melihat anak lain yang sebaya denganku, janganlah dipandang seksama sehingga menimbulka rasa sedih di hati ayah,” sambung Isma'il. Setelah mendengar pesan-pesan putranya itu, Nabi Ibrahim AS menjawab, “Sebaik-baik kawan dalam melaksanakan perintah Allah SWT adalah kau, wahai putraku tercinta!”. Kemudian Nabi Ibrahim as menggoreskan pedangnya sekuat tenaga ke bagian leher putranya yang telah diikat tangan dan kakinya, namun beliau tak mampu menggoresnya. Ismail berkata, “Wahai ayahanda! Lepaskan tali pengikat tangan dan kakiku ini agar aku tidak dinilai terpaksa dalam menjalankan perintah-Nya. Goreskan lagi ke leherku agar para malaikat megetahui bahwa diriku taat kepada Allah SWT dalam menjalan perintah semata-mata karena-Nya.”. Nabi Ibrahim as melepaskan ikatan tangan dan kaki putranya, lalu beliau hadapkan wajah anaknya ke bumi dan langsung menggoreskan pedangnya ke leher putranya dengan sekuat tenaganya, namun beliau masih juga tak mampu melakukannya karena pedangnya selalu terpental. Tak puas dengan kemampuanya, beliau menghujamkan pedangnya kearah sebuah batu, dan batu itu pun terbelah menjadi dua bagian. “Hai pedang! Kau dapat membelah batu, tapi mengapa kau tak mampu menembus daging?” gerutu beliau. Atas izin Allah SWT, pedang menjawab,
“Hai Ibrahim! Kau menghendaki untuk menyembelih, sedangkan Allah penguasa semesta alam berfirman, ‘jangan disembelih’. Jika begitu, kenapa aku harus menentang perintah Allah?”. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata (bagimu). Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS. Ash-Shâffât, [37]: 106). Menurut satu riwayat, bahwa Ismail diganti dengan seekor domba kibas yang dulu pernah dikurbankan oleh Habil dan selama itu domba itu hidup di surga. Malaikat Jibril datang membawa domba kibas itu dan ia masih sempat melihat Nabi Ibrahim AS menggoreskan pedangnya ke leher putranya. Dan pada saat itu juga semesta alam beserta seluruh isinya ber-takbir (Allâhu Akbar) mengagungkan kebesaran Allah SWT atas kesabaran kedua umat-Nya dalam menjalankan perintahnya. Melihat itu, malaikai Jibril terkagum-kagum lantas mengagungkan asma Allah, “Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, Allâhu Akbar”. Nabi Ibrahim AS menyahut, “Lâ Ilâha Illallâhu wallâhu Akbar”. Ismail mengikutinya, “Allâhu Akbar wa lillâhil hamd”. Kemudian bacaan-bacaan tersebut dibaca pada setiap hari raya kurban (Idul Adha)” Ibu Gina tersenyum melihat mata anaknya berbinar setelah mendengarkan cerita tentang Nabi Ismail dan Nabi Ibrahim tersebut.




            “Kamu tau, Nak? Allah punya tempat paling indah di dunia ini yang melebihi indahnya taman bunga di Bogor, atau di Dufan” Sambung Bapak Hendra.
            “Wah, dimana tempatnya Yah?”
            “Tempatnya di Surga”
            “Surga itu apa, Yah? Jarak rumah Kita menuju Surga berapa? Kalaw liburan, Kita kesana yuk sama Bik Tatik, sama Mang Ujang juga” Cerocos Reffi dengan gembira.
            “Tidak bisa, Nak. Jaraknya jauh sekali, dan itu akan Kita tempati jika sudah meninggal atau tidak bernyawa lagi. Dan si Hitam akan di qurbankan untuk di tempatkan pada tempat yang lebih baik seperti Surga, yang tidak kumuh seperti kandang di belakang rumah Kita, tidak harus berdesak-desakan dengan saudara-saudaranya yang lain” kata Bapak Hendra dengan bijaksana.
            “Memang si Hitam tidak betah tinggal di kandang belakang itu ya, Yah? Terus, kenapa Ayah tidak membuatkannya lebih bagus lagi untuk Mereka semua?”
            “Bukan tidak betah, tetapi si Hitam akan menempati tempat yang indah dan yang pasti akan lebih disukai oleh si Hitam. Ayah tidak membuatkannya yang lebih bagus karna kambing tetaplah kambing, tetap saja jorok”
            Semua tertawa bersama-sama.
            “kalaw Reffi sayang sama Hitam, kenapa tidak dibiarkan saja si Hitam hidup ditempat yang lebih indah supaya bisa makan enak dan lebih gemuk yang pastinya” Sampung Bapak Hendra.
            “Berarti Hitam harus mati dulu dong, kalaw begitu siapa yang mau nemenin Reffi main Yah?” Reffi mulai cemberut lagi.
            “Teman-teman Reffi kan banyak, ada Ridho, Cikal, Ananda, Khrisna, dan Mereka lebih menyenangkan. Bisa diajak bermain bola, robot-robotan dan yang lainnya, iya kan?” Tanya Ibu Gina.
            “iya ya, Bunda. Besok mau ajak Mereka main ke rumah ah”
            “Lalu gimana sama si Hitam? Masih ngambek kalau si Hitam mau di qurbanin?”
            “Gak, Bunda. Tapi ajakin Reffi kalau mau nganter Hitam ke masjid” Reffi tertawa.
            “Ya udah, yuk makan”

            Allahu Akbar..
            Allahu Akbar..
            Allahu Akbar..
            Pagi-pagi sekali Reffi sudah rapih, dengan menggunakan baju koko berwarna krem kesukaannya dan kopiah yang lucu dikenakan dikepalanya. Reffi mengangkat celana panjangnya agar tidak kotor ketika memasuki kawasan kandang si Hitam dan teman-temannya. Ternyata si Hitam sudah berada diluar kandang dengan leher yang dikalungkan tali.
            “Kasian sekali Kamu, Hitam” Reffi memegang tandung si Hitam yang agak runcing “Kamu akan berpisah dengan rumah ini, berpisah dengan Reffi dan berpisah dengan teman-teman yang lainnya tapi tenang ya. Kata Ayah sama Bunda, Allah punya surga yang sangat indah untuk Kamu dan tidak kumuh seperti kandangnya Hitam saat ini” Reffi terkekeh.
            Reffi duduk berjongkok disamping si Hitam, menatap mata kambing kesayangannya. “Kenapa mata Kamu basah?” Reffi mengusap bawah mata si Hitam, “hei, jangan menangis ! Ayah dan Bunda sedang siap-siap untuk sholat Idul Adha, Mereka tidak akan sempat bercerita tentang kisah Nabi-Nabi Allah sama Kamu. Kemarin, Mereka bercerita tetang Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail. Kapan-kapan Kita pasti bisa bercerita seperti Ayah dan Bunda menceritakan kisah-kisah luar biasa itu”
            Tiba-tiba Mang Ujang yang lari tergopoh-gopoh menghampiri Reffi yang sedang berjongkok didekat si Hitam, kambing yang akan dibawa Mang Ujang karena setelah Sholat Idul Adha si Hitam dan kambing-kambing yang lainnya akan disembelih.
            “Nak Reffi, jangan disini, kotor. Kan Nak Reffi sudah rapih mau sholat Idul Adha, masuk saja ya biarkan si Hitam Mang Ujang bawa” Kata Mang Ujang sambil sedikit berbungkuk.
            “Iya, Mang. Bawa Hitamnya hati-hati yaa, bilang sama Bapak-bapak yang mau menyembelihnya, jangan sampai membuat Hitam kesakitan” Reffi menunduk melihat si Hitam yang mulai dilepaskan talinya.
            “hehehheehee, baik nak” Mang Ujang sedikit tertawa.
            “Hitam, jangan sedih ! Allah punya Surga yang indah untuk Mu, dan Allah punya makanan yang enak lebih dari rumput-rumput liar yang pahit itu. Reffi doakan semoga Hitam bisa punya teman yang lebih baik disana” Doa Reffi dalam hati.

            “Reffi, yuk Kita ke Masjid” Ajak Bapak Hendra.
            “Baik, Yah”
            Reffi tersenyum sambil dirangkul Ayahnya, berjalan menuju Masjid untuk melaksanakan Sholat Idul Adha berjamaah.

            Kisah tauladan Nabi Ismail yang ikhlas disembelih oleh Ayahnya sendiri karna ada mimpi yang datang pada Ayahnya (Nabi Ibrahim) sebagai wahyu untuk dilaksanakan. Menunjukan sikap seorang anak yang patuh pada Allah SWT, bukan hanya patuh kepada Allah SWT tetapi kepada kedua orang tuanya yang mendapatkan ujian berat berupa mimpi untuk menyembelih anaknya.
 

This Template Was Found On Elfrida Chania's Blog